
OPINI: PENULIS, ILAM ALIEM
GORONTALO SERU – Belakangan ini, pola didik dan asuh anak di pondok pesantren banyak mendapat sorotan publik. Sayangnya, bukan karena prestasi, melainkan karena praktik kekerasan fisik dan verbal yang kerap terjadi dengan dalih mendidik. Meski tidak semua pesantren demikian, namun jumlahnya juga tidak sedikit.
Salah satu kasus terjadi baru-baru ini di Gorontalo. Seorang santri di salah satu pesantren di pelosok Gorontalo, terpaksa kabur karena tidak tahan dengan pola didik pengasuhnya. Ia tidak hanya mengalami kekerasan fisik, tetapi juga mengaku sering dibully oleh pengasuh dan dijadikan contoh buruk di depan teman-temannya.
Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Bukankah Islam mengajarkan cara menegur seseorang secara tersembunyi, bukan mempermalukan di depan umum?
Terlebih, kesalahan-kesalahan “si santri” tergolong normal untuk anak seusianya, terutama di usia transisi menuju remaja. Contohnya, terlambat datang ke masjid, terlambat menjalankan sanksi, lebih banyak bermain dibanding belajar, lupa menjalankan tugas piket, dan lain sebagainya. Kesalahan semacam ini sebenarnya normatif dan tidak perlu diselesaikan dengan kekerasan fisik maupun verbal. Cukup diarahkan ke jalur yang seharusnya.
1. Kontradiksi dengan Nilai-Nilai Islam
Dalam ajaran Islam, pendidikan bertujuan untuk membentuk individu berakhlak mulia dan memiliki jiwa kasih sayang. Namun, pola asuh yang mencakup tindakan kekerasan, baik fisik maupun verbal, jelas bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Islam mengajarkan perlindungan terhadap anak dan penghormatan atas hak-hak mereka.
Kekerasan meninggalkan dampak jangka panjang pada perkembangan psikologis santri. Anak yang menjadi korban kekerasan sering kehilangan rasa percaya diri, mengalami trauma, dan merasa tidak aman di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat belajar yang nyaman.
Simak Goseru Live Radio, KLIK DISINI
2. Dampak Kekerasan terhadap Karakter Santri
Kekerasan fisik dan verbal mengikis kepercayaan diri santri dan merusak karakter mereka. Pesantren, yang semestinya menjadi lembaga pendidikan Islami, justru mencoreng citra itu dengan praktik semacam ini. Tindakan kekerasan hanya menciptakan generasi yang rentan terhadap masalah emosional, seperti kecemasan dan depresi.
Ketika santri merasa tidak aman, motivasi belajar mereka berkurang. Hal ini berdampak pada prestasi akademik dan perkembangan emosional mereka. Pesantren seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman, bukan sarang ketakutan.
3. Trauma Psikologis akibat Kekerasan Verbal
Kekerasan verbal, seperti ejekan, hinaan, atau ancaman, meninggalkan luka yang tak terlihat. Santri yang mengalami kekerasan verbal sering merasa tidak dihargai, yang mengakibatkan penurunan semangat belajar. Efek ini dapat bertahan hingga dewasa, memengaruhi hubungan sosial dan kinerja profesional mereka.
Lebih buruknya lagi, pola asuh seperti ini bisa ditiru oleh anak didik. Mereka cenderung melampiaskan pola kekerasan tersebut kepada orang lain, menganggap bahwa kekerasan adalah cara yang normal untuk menyelesaikan masalah.

4. Kurangnya Pengawasan dan Kebijakan yang Tegas
Salah satu masalah utama dalam pola asuh di pesantren adalah kurangnya pengawasan dan kebijakan tegas dari pemerintah. Banyak pesantren yang bersembunyi dibalik nama yayasan, merasa over power dan merasa tidak bisa disentuh pemerintah karena belum banyak memiliki regulasi efektif untuk mencegah dan menindak kekerasan. Bahkan jika regulasi ada, pengawasannya tidak seketat sekolah umum.
Pemerintah, khususnya DPRD Gorontalo, perlu segera melakukan pengawasan ketat terhadap lembaga pendidikan berbasis pesantren. Langkah ini penting untuk memastikan pesantren menjalankan nilai-nilai Islam yang sebenarnya.
5. Peran Tenaga Pendidik sebagai Teladan
Tenaga pendidik di pesantren juga memegang peran penting sebagai teladan bagi santri. Ketika mereka terlibat dalam praktik kekerasan, budaya kekerasan sulit dihentikan. Oleh karena itu, pelatihan khusus bagi pengasuh perlu dilakukan untuk memahami metode pendidikan ramah anak dan non-kekerasan.
Selain itu, pemerintah perlu mengembangkan regulasi tegas untuk mencegah kekerasan di lingkungan pesantren, termasuk penerapan sanksi bagi pelaku kekerasan. Para pembina dan pengasuh pesantren juga harus mengubah pendekatan dari otoriter ke pendekatan yang lebih ramah anak.
Temani aktifitasmu dengan deretan lagu favoritmu di Goseru Live Radio!
6. Tanggung Jawab Sosial dan Moral
Pencegahan kekerasan di pesantren tidak hanya menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan dan pemerintah, tetapi juga masyarakat dan orang tua. Kesadaran kolektif diperlukan untuk menciptakan perubahan yang berarti dalam pola asuh anak didik di pesantren.
Masyarakat harus berperan aktif dalam mengawasi pesantren dan melaporkan kasus kekerasan. Orang tua juga perlu lebih terlibat dalam pendidikan anak mereka, memastikan pesantren yang dipilih benar-benar mengedepankan nilai-nilai kasih sayang dan non-kekerasan. JANGAN SALAH PILIH PESANTREN!
Untuk Pemerintah, khususnya Komisi 4 DPRD Provinsi Gorontalo, perlu segera mengevaluasi pesantren-pesantren di wilayah Gorontalo, khususnya yang terletak didaerah pelosok yang jarang tersentuh pemerintah. Selain itu, diperlukan regulasi yang mendukung perlindungan hak anak di pesantren.