
GORONTALO SERU – Belakangan ini, viral berita mengenai seorang kepala desa di Kabupaten Gorontalo yang dianggap sesat karena tidak melaksanakan tradisi ‘aruwa’ atau ‘mongaruwa’ setelah ayahnya meninggal dunia.
Tradisi ini merupakan bagian dari adat Gorontalo yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat setempat. Meski demikian, polemik muncul karena kepala desa tersebut memilih untuk tidak menggelar aruwa, memicu perdebatan tentang relevansi tradisi ini dalam ajaran Islam.
Apa Itu Tradisi Aruwa?
Aruwa adalah tradisi Gorontalo yang dikenal luas sebagai bentuk tahlilan. Dalam praktiknya, masyarakat berkumpul di rumah keluarga yang berduka untuk mendoakan arwah orang yang telah meninggal. Proses ini dipimpin oleh seorang imam yang disebut pegawai syara’, dan diakhiri dengan jamuan makan yang disiapkan oleh keluarga almarhum.
Aruwa biasanya dilaksanakan pada hari ke-7, ke-40, ke-100, hingga 1000 hari setelah kematian. Selain itu, beberapa keluarga juga mengadakan aruwa setiap tahun sebagai bentuk penghormatan dan mengenang kerabat yang telah wafat.
Tradisi ini didasarkan pada falsafah Gorontalo, “Adati hulo-hulo’o to syariati, syariati hulo-hulo’o to Qur’ani” yang berarti adat istiadat dilandaskan pada syariat Islam, dan syariat Islam berlandaskan Al-Qur’an. Oleh karena itu, siapa yang tidak menjalankan adat dianggap menyimpang.
Kontroversi di Balik Tradisi Aruwa
Meski memiliki akar budaya yang kuat, pelaksanaan aruwa tidak lepas dari kontroversi. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa aruwa memberatkan, terutama dari segi biaya dan tenaga. Kelompok ini berpegang pada pandangan bahwa aruwa tidak memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis, sehingga dianggap bid’ah. Inilah yang melatarbelakangi keputusan kepala desa tersebut untuk tidak menggelar aruwa setelah kematian ayahnya.
Sebaliknya, ada pula yang meyakini bahwa aruwa adalah bagian dari tradisi yang mempererat solidaritas sosial. Bagi mereka, aruwa bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga wadah untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan menjaga harmoni dalam masyarakat.
Pandangan 4 Mazhab Besar tentang Tahlilan atau Aruwa
Pandangan ulama tentang tradisi tahlilan atau aruwa beragam, tergantung pada mazhab yang dianut. Berikut adalah penjelasan mengenai posisi empat mazhab besar dalam Islam terhadap tradisi ini:
- Pandangan Umum: Mazhab Hanafi memandang tahlilan sebagai amalan yang mubah (boleh dilakukan), meskipun tidak memiliki dalil yang eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis.
- Praktik: Tahlilan dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada almarhum, dan dilaksanakan atas dasar solidaritas sosial. Tidak ada kewajiban untuk melaksanakannya, namun jika dilakukan dengan niat yang baik, akan bernilai sebagai amal kebajikan.

- Pandangan Umum: Dalam mazhab Maliki, tahlilan atau aruwa tidak dianjurkan sebagai ibadah yang disyariatkan. Mereka lebih menekankan doa langsung kepada Allah untuk arwah almarhum tanpa perlu mengadakan ritual tertentu.
- Praktik: Masyarakat yang mengikuti mazhab ini lebih memilih untuk mendoakan arwah dengan cara-cara sederhana dan tanpa acara formal.
- Pandangan Umum: Mazhab Syafi’i memiliki pandangan lebih ketat terkait tahlilan. Mereka berpendapat bahwa tahlilan tidak memiliki dasar dalil yang kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis, sehingga bukan bagian dari ibadah yang dianjurkan.
- Praktik: Dalam mazhab ini, lebih dianjurkan untuk membaca Al-Qur’an dan berdoa langsung bagi arwah tanpa melibatkan ritual khusus.
4. Mazhab Hanbali
- Pandangan Umum: Mazhab Hanbali memiliki pandangan serupa dengan Syafi’i, di mana tahlilan tidak memiliki dasar kuat dalam Islam. Mereka menekankan pentingnya mendoakan arwah secara langsung tanpa embel-embel ritual yang dapat dianggap sebagai bid’ah.
- Praktik: Pengikut mazhab Hanbali lebih memilih untuk melakukan amal kebajikan dan doa sebagai bentuk penghormatan kepada arwah.
Dinamika Sosial dan Religius di Gorontalo
Di Gorontalo, aruwa memiliki peran penting dalam menjaga keharmonisan sosial. Kegiatan ini menjadi momen bagi masyarakat untuk berkumpul dan saling menguatkan dalam suasana duka. Namun, dalam konteks modern, banyak generasi muda yang mulai mempertanyakan relevansi tradisi ini.
Sebagian besar masyarakat tetap melaksanakan aruwa sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi leluhur. Di sisi lain, ada pula yang memilih untuk tidak melaksanakannya karena alasan teologis dan praktis. Kedua pandangan ini mencerminkan dinamika sosial yang terus berkembang di Gorontalo.
Polemik mengenai pelaksanaan aruwa di Gorontalo adalah cermin dari benturan antara tradisi dan pemahaman agama yang lebih tekstual.
Apapun pandangan yang dipegang, penting bagi masyarakat untuk tetap menghormati perbedaan dan menjaga nilai-nilai persaudaraan. Tradisi aruwa, meskipun kontroversial, memiliki nilai sosial yang patut dijaga, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.