
Putusan Pengadilan Negeri Gorontalo: Membatalkan Akta Perdamaian Nomor 7/Pdt.G/2023/PN Gto
Zen Seru! Rabu, 30 April 2025, Pengadilan Negeri Gorontalo, resmi membacakan putusan atas perkara perdata Nomor 88/Pdt.G/2024/PN Gorontalo, yang melibatkan Agus Potale dkk. sebagai Penggugat melawan Iwan Matteo Frans Kapojos sebagai Tergugat.
Perkara ini berakar dari sengketa seputar akta perdamaian (antap) yang sebelumnya telah diputus dalam perkara Nomor 7/Pdt.G/2023/PN Gto.
Gugatan ini diajukan dengan tujuan membatalkan kesepakatan damai tersebut karena dianggap cacat hukum.
Menurut kuasa hukum penggugat, Fahmi Saputra Al-Idrus, kesepakatan tersebut tidak mendapatkan persetujuan dari seluruh ahli waris almarhum Ahmad Hoesa Pakaya, yang menjadi pihak penting dalam proses jual beli lahan tempat berdirinya Indo Grosir saat ini.
Kesepakatan Fee Rp13 Miliar Tanpa Persetujuan Semua Ahli Waris
Dalam persidangan terungkap bahwa kesepakatan perdamaian yang menghasilkan pemberian fee sebesar Rp13 miliar kepada Iwan Kapojos dan rekan hanya ditandatangani oleh Haji Agus Salim.
Padahal, Haji Agus Salim hanya diberikan kuasa terbatas untuk menjual aset, bukan untuk membuat perjanjian atau kesepakatan hukum lainnya, apalagi yang berdampak finansial besar seperti fee miliaran rupiah.
“Poin pentingnya, kuasa tersebut tidak mencakup pemberian atau penyepakatan fee, sehingga tindakan tersebut dianggap menyalahi kewenangan dan merugikan pihak ketiga, yakni para ahli waris lainnya. Hal ini menjadi dasar kuat dalam gugatan yang diajukan ke pengadilan,” jelas Fahmi.
Pelaksanaan Kesepakatan Dinilai Bertentangan dengan Hukum
Berdasarkan Pasal 33 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2016, memang diizinkan bagi para pihak yang berperkara untuk mengajukan kesepakatan damai dalam proses pemeriksaan.
Namun, Pasal 27 PERMA tersebut secara tegas menyatakan bahwa kesepakatan tidak boleh:
- Bertentangan dengan hukum
- Merugikan pihak ketiga
- Tidak dapat dilaksanakan
Dalam kasus ini, perjanjian yang dilakukan oleh Haji Agus Salim dan Iwan Kapojos jelas merugikan para ahli waris lainnya, yang tidak pernah memberi persetujuan ataupun dilibatkan dalam penyusunan akta perdamaian tersebut.
Sehingga berdasarkan Pasal 27 ayat (2) huruf b, akta perdamaian tersebut dinilai batal demi hukum.
Ahli Waris Menyatakan Dirugikan: Desakan Pengembalian Dana
Para ahli waris dari almarhum Ahmad Hoesa Pakaya merasa keberatan dan dirugikan secara hukum dan materiil atas kesepakatan yang dilakukan tanpa keterlibatan mereka.
Maka dari itu, mereka secara resmi menuntut pembatalan akta perdamaian dan menuntut pengembalian seluruh fee sebesar Rp13 miliar yang telah dibayarkan kepada tergugat dan pihak terkait.
Amar Putusan Majelis Hakim: Wajib Kembalikan Rp4,092 Miliar
Dalam amar putusan yang dibacakan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Gorontalo, dinyatakan bahwa:
“Menimbang bahwa para penggugat telah melakukan pembayaran pada termin ke-1 dan ke-2 sebesar total Rp4.092.000.000, dan tidak terdapat bukti sah bahwa termin ke-3 dan ke-4 (senilai total Rp8.908.000.000) pernah dibayarkan, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum dan tidak mengikat,” ungkap Fahmi mengulangi putusan PN kepada Goseru.
“Oleh karena itu, pihak tergugat wajib mengembalikan dana sebesar Rp4.092.000.000 yang telah diterima,” sambungnya.
Putusan ini menunjukkan bahwa pengadilan mengakui adanya pelanggaran prosedural dan substansial, serta menguatkan posisi hukum para ahli waris yang dirugikan.
Dampak Besar bagi Praktik Jual-Beli dan Kesepakatan Perdamaian
Kasus ini memberikan preseden penting bagi praktik penyelesaian sengketa, khususnya di bidang perdata dan agraria. Hal ini menunjukkan bahwa:
- Kuasa untuk menjual tidak dapat serta-merta ditafsirkan sebagai kuasa untuk membuat kesepakatan hukum lain.
- Setiap pihak yang memiliki kepentingan hukum atas suatu objek harus dilibatkan secara aktif dalam perundingan atau kesepakatan.
- Kesepakatan damai yang merugikan pihak ketiga dapat dibatalkan oleh pengadilan.
Teguran Bagi Makelar Tanah yang Menyalahi Etika Hukum
Kasus ini juga memberikan peringatan keras terhadap praktik makelar tanah yang kerap bertindak di luar batas kewenangan dan etika.
Pemberian fee tanpa dasar legal standing yang sah, serta melibatkan pihak yang tidak memiliki hak penuh, dapat menimbulkan gugatan hukum serius dan tuntutan pengembalian dana.
Sebagaimana ditegaskan oleh kuasa hukum penggugat, Fahmi Saputra Al-Idrus, pihaknya berharap putusan ini menjadi pelajaran bagi para pelaku, dalam hal ini para makelar tanah (aset) warisan.