
Zen Seru! Sidang lanjutan sengketa lahan perluasan Bandara Djalaluddin Gorontalo kembali digelar pada hari Senin (24/03/25), pukul 11.00 WITA.
Persidangan kali ini menghadirkan saksi dari pihak tergugat, yakni Pemerintah Provinsi Gorontalo, yang diwakili oleh pihak Bendahara Badan Keuangan Provinsi Gorontalo. Kehadiran saksi ini menjadi titik baru dalam upaya mengungkap fakta-fakta yang berkaitan dengan aliran dana pembebasan lahan yang menjadi sengketa.
Kesaksian yang Dipertanyakan
Meskipun saksi yang dihadirkan dinilai tidak kompatibel dalam memberikan keterangan substantif mengenai sengketa lahan, kuasa hukum penggugat, Fahmi Al-Idrus, menilai kehadiran saksi tersebut justru membuka data-data baru yang dapat memperjelas alur permasalahan.
“Faktanya, dalam persidangan tadi, saksi secara keseluruhan mengaku tidak mengetahui tentang status tanah yang dibebaskan pemerintah, apakah bermasalah atau tidak. Yang ia tahu hanya mencairkan dana sesuai dengan dokumen yang ia terima,” ungkap Fahmi.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa kehadiran saksi ini membantu dalam memetakan aliran dana, termasuk pihak-pihak yang menerima pembayaran dan dasar hukum atas transaksi tersebut.
“Meski demikian, kehadirannya menjadi fakta-fakta tambahan untuk kita. Tadi semakin jelas kan? Aliran dana kemana, siapa yang menerima, dan atas kuasa siapa, dengan bukti-bukti yang dibawa oleh saksi,” tambahnya.
Identitas Penerima Dana Pembebasan Lahan
Dalam persidangan, saksi mengungkap bahwa pembayaran lahan sengketa dilakukan kepada seseorang berinisial AP alias Ato, yang diketahui bertindak sebagai perantara atau penerima kuasa dari SP alias Mami.
Fakta menarik lainnya adalah bahwa SP alias Mami merupakan istri kedua dari mantan Bupati Gorontalo, Alm. Ahmad Hoesa Pakaya. Namun, lahan yang dijual memiliki sertifikat atas nama Mintje Ismail Pakaya, yang merupakan istri pertama.
Pernyataan ini menimbulkan dugaan adanya ketidaksesuaian hukum dalam transaksi pembebasan lahan. Fakta bahwa pembayaran dilakukan kepada individu yang tidak memiliki sertifikat atas tanah tersebut menimbulkan pertanyaan besar terkait legalitas proses transaksi yang telah berlangsung.
Saksi Mengaku Tidak Mengetahui Detail Lahan
Dalam keterangannya, saksi dari Pemerintah Provinsi Gorontalo menegaskan bahwa ia tidak mengetahui detail mengenai status lahan yang dibebaskan. Ia hanya bertanggung jawab atas proses pencairan dana berdasarkan dokumen yang telah diverifikasi oleh pihak terkait.
“Saya hanya mencairkan dana sesuai dengan dokumen yang diberikan dan telah diverifikasi oleh instansi yang berwenang. Saya tidak mengetahui lebih lanjut apakah tanah tersebut bermasalah atau tidak,” ungkap saksi.
Pernyataan ini semakin memperjelas bahwa dalam proses pembebasan lahan tersebut, verifikasi legalitas kepemilikan lahan mungkin belum dilakukan secara menyeluruh, atau terdapat kesalahan dalam pengesahan dokumen yang digunakan untuk pembayaran.
Dari fakta sidang ini, Fahmi Al-Idrus menyimpulkan fakta bahwa Jual beli antara pihak provinsi dengan penjual lewat perantara AP alias Ato adalah tidak dibenarkan secara hukum.
“Bagaimana bisa pemberi kuasa menjual (SP alias mami) memberikan kuasa menjual kepada AP alias Ato yang notabenenya kedua orang tersebut tidak ada hubungan dengan Mintje Ismail Pakaya, ibu dari klien kami, Yulianti Pakaya,” ujarnya.
“Oleh sebab itu, baik kuasa menjual atapun segala surat-surat yang ada hubunganya dengan tanah tersebut yang digunakan untuk pembebasan lahan perluasan bandara tidak sah dalam artian melanggar hak orang lain,” sambung Fahmi, tegas.
Fakta Baru: Status Pernikahan Tidak Sah Secara Hukum
Setelah persidangan, muncul fakta baru yang diungkapkan oleh pihak penggugat, yakni status pernikahan antara Alm. Ahmad Hoesa Pakaya dengan SP alias Mami. Menurut informasi yang diberikan, pernikahan tersebut bukan pernikahan resmi, melainkan hanya pernikahan sirih.
“SP itu hanya istri sirih, bukan istri sah!” tegas salah satu kerabat penggugat yang enggan disebutkan namanya.
Fakta ini menjadi krusial dalam persidangan karena berpotensi mempengaruhi keabsahan kepemilikan tanah serta dasar hukum yang digunakan untuk transaksi pembebasan lahan.
Potensi Dampak Hukum dalam Sengketa Lahan Bandara Djalaluddin
Dari berbagai fakta yang terungkap dalam persidangan, terdapat beberapa aspek hukum yang perlu dikaji lebih dalam:
- Keabsahan Proses Pembayaran – Jika dana pembebasan lahan disalurkan kepada pihak yang tidak memiliki hak sah, maka ada kemungkinan terjadi mal-administrasi atau bahkan pelanggaran hukum dalam transaksi tersebut.
- Keabsahan Kepemilikan Tanah – Jika lahan yang dijual memiliki sertifikat atas nama Mintje Ismail Pakaya, namun pembayaran diberikan kepada pihak lain, maka hal ini menimbulkan dugaan adanya praktik ilegal dalam proses jual beli tanah.
- Potensi Gugatan Perdata dan Pidana – Jika penggugat dapat membuktikan adanya unsur pemalsuan dokumen atau penyalahgunaan wewenang, maka kasus ini bisa berkembang ke ranah pidana selain sengketa perdata yang sedang berlangsung.
- Tanggung Jawab Pemerintah – Jika benar bahwa verifikasi dokumen tidak dilakukan dengan teliti, maka ada kemungkinan Pemerintah Provinsi Gorontalo bertanggung jawab atas kelalaian administratif, yang dapat berdampak pada kredibilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan aset negara.
Zen Seru! Sidang lanjutan sengketa lahan Bandara Djalaluddin Gorontalo masih menyisakan banyak pertanyaan yang perlu dijawab. Dengan semakin banyaknya fakta yang terungkap, kasus ini semakin menunjukkan kompleksitasnya, terutama terkait status kepemilikan tanah, aliran dana pembebasan lahan, serta legalitas transaksi yang dilakukan.
Pihak tergugat, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Gorontalo, perlu memberikan klarifikasi lebih lanjut terkait prosedur administrasi yang dilakukan dalam pembebasan lahan tersebut.
Dengan terus berkembangnya kasus ini, masyarakat Gorontalo menantikan keputusan hukum yang adil dan transparan, agar proyek perluasan Bandara Djalaluddin dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak menimbulkan polemik di kemudian hari.