
Kepala Desa Bilato dituduh sesat karena tak menjalankan adat ‘aruwa’. Tuduhan ini dianggap fitnah oleh keluarga, namun DPRD gagal menghadirkan pelapor saat RDP. Bagaimana nasib keadilan untuk korban?
Gorontalo Seru – Fitnah yang mencoreng nama baik seorang Kepala Desa di Kecamatan Bilato, kabupaten Gorontalo terus sorotan publik. Kepala desa tersebut dituduh menganut ajaran sesat hanya karena tak menjalankan adat doa arwah atau “aruwa“, tradisi yang biasa dilakukan masyarakat setempat.
Tuduhan itu bahkan sempat dilaporkan ke Komisi 1 DPRD Kabupaten Gorontalo dengan dalih meyakini adanya Nabi selain Muhammad dan melarang shalat berjamaah di masjid. Namun, hingga kini, tuduhan tersebut tidak pernah terbukti.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) beberapa waktu lalu, kepala desa telah membantah keras semua tuduhan tersebut. Sayangnya, proses klarifikasi yang semestinya menjadi ruang mencari kebenaran justru tercederai oleh absennya pelapor.
“Bagaimana mungkin suami saya melarang orang shalat berjamaah dimesjid? Sedang dia saja hampir tidak pernah absen shalat berjamaah di mesjid. Bahkan shalat berjamaah di masjid adalah rutinitasnya. Tuduhan seperti ini sudah keterlaluan,” ujar Hestin Hasan, istri kepala desa, yang akhirnya angkat bicara atas fitnah yang terus menghantui keluarganya. (20/11/24)
Bagaimana Kronologi bermulanya tuduhan ini?
Ia melanjutkan, tuduhan ini bermula ketika sang suami tidak melaksanakan adat ‘aruwa’ setelah ayah mantunya meninggal dunia. Sebuah tradisi doa arwah yang diyakini sebagian masyarakat setempat sebagai kewajiban adat. Padahal, menurut sang istri, suaminya tidak bermaksud menentang adat, namun hanya berusaha menjaga keseimbangan syariat agama yang diyakini suaminya.
“Keluarga kami memiliki pemahaman bahwa melakukan ‘aruwa’ itu tidak perlu. Sebab tidak ada anjuran kewajiban disana, Sebagaimana pendapat Sebagian dari ulama yang kami pegang prinsipnya dan dalil-dalilnya,” ujar Hestin.
“Sebagai pemimpin, suami saya memang sering diharapkan menjadi pelaksana adat. Tapi apa salahnya jika dia memilih tidak melakukannya? Apakah ini alasan yang cukup untuk menjadikannya seorang yang sesat dan mencederai falsafah Gorontalo ‘adat bersendikan syariat, syariat bersendikan kitabbullah?” tambahnya menahan airmata.

Ironisnya, dalam RDP bersama komisi 1 DPRD kabupaten Gorontalo, pihak DPRD justru tidak menghadirkan pelapor untuk mengonfrontasi tuduhan yang dilemparkan. Ini menimbulkan tanda tanya besar tentang sejauh mana keseriusan DPRD dalam menangani laporan yang menyerang nama baik seorang kepala desa dan keluarganya.
“Waktu RDP kemarin, suami saya saja yang diintrogasi, sementara pelapor tidak dihadirkan. Ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga merugikan kami yang terus-menerus difitnah tanpa ada kejelasan,” ucapnya lagi.
Absennya pelapor dalam forum resmi seperti RDP menunjukkan lemahnya dasar tuduhan yang dilayangkan. Bukankah ini justru mengindikasikan bahwa tuduhan tersebut hanya sekadar opini tanpa bukti?
DPRD juga patut dikritik atas kurangnya profesionalisme dalam memastikan semua pihak terkait hadir. Bagaimana keadilan bisa ditegakkan jika yang menuduh tidak diberi kewajiban untuk membuktikan tuduhannya?
Masyarakat pun mendesak agar kasus ini segera dituntaskan dengan adil, tanpa membiarkan fitnah seperti ini berkembang lebih jauh. Kepala desa ini adalah korban dari permainan politik atau intrik adat yang tak sehat. Menurut penulis, DPRD semestinya bisa menjadi fasilitator untuk mencari kebenaran, bukan malah membiarkan ketidakjelasan seperti ini terjadi.
Kasus ini menjadi pembelajaran penting bagi semua pihak. Menyebar tuduhan tanpa bukti bukan hanya mencemarkan nama baik seseorang, tetapi juga melukai tatanan masyarakat yang selama ini hidup berdampingan. (el-ghava)