
Zen Seru! Kebohongan, sekuat apapun ditutupi, selalu punya cara untuk terbongkar. Inilah yang tersingkap dalam perkembangan terbaru sengketa lahan di area perluasan Bandara Jalaludin Gorontalo.
Pemerintah Provinsi Gorontalo yang sebelumnya bersikukuh bahwa lahan milik (almarhumah) Mintje Ismail Pakaya tidak masuk dalam zona perluasan runway, kini justru menyerahkan bukti transaksi pembayaran atas lahan tersebut dalam sidang pembuktian di Pengadilan Negeri Limboto, Selasa (10/6/2025).
Padahal, pada 26 Februari 2025 lalu, Kepala Biro Hukum Pemprov Gorontalo, Trizal Entengo, secara tegas menyatakan kepada media bahwa tanah yang disengketakan tidak termasuk dalam lahan yang dibebaskan untuk perluasan bandara.
Baca Berita Sebelumnya: Bandara Djalaluddin Gorontalo Diduga Serobot Lahan Warga 1,2 Hektar
“Pemprov Gorontalo tidak pernah membebaskan lahan tersebut karena memang itu lahan yang bersertifikat,” ujar Trizal kepada Gopos.id kala itu.
Namun pernyataan ini kini dipatahkan oleh dokumen resmi yang justru berasal dari pihak pemerintah itu sendiri.
Kontradiksi yang Menguak Fakta
Dalam sidang pembuktian yang berlangsung pada 10 Juni 2025, pihak Pemerintah Provinsi Gorontalo yang dulunya membantah, justru menyerahkan dokumen berisi nota pembayaran pembebasan lahan.
Ironisnya, pembayaran tersebut bukan ditujukan kepada pemilik sah, Yuliyanti Pakaya sebagai ahli waris dari (almarhumah) Mintje Ismail Pakaya, istri sah mantan Bupati Gorontalo, (almarhum) Ahmad Hoesa Pakaya, melainkan kepada Ahmad Pakaya, yang diberi kuasa oleh Salma Pakaya, istri siri dari almarhum.
“Ini bukti yang tidak bisa disangkal lagi. Apa yang sebelumnya dikatakan pihak Pemprov hanyalah alibi yang sesat dan menyesatkan,” ujar Fahmi Saputra Al-Idrus, kuasa hukum ahli waris, kepada Goseru (11/06/25).
“Tanah tersebut masuk dalam wilayah perluasan runway dan kami memiliki sertifikat resminya. Pemda hanya bisa diam saat sidang pemeriksaan setempat karena tidak bisa membantah bukti di lapangan,” tambah Fahmi.
Pemufakatan Jahat dan Kelalaian Fatal
Persoalan ini tidak hanya menyentuh aspek administratif, tetapi juga menyingkap potensi pelanggaran hukum yang serius.
Fahmi menyebut adanya dugaan pemufakatan jahat antara sejumlah pihak, mulai dari pemerintah setempat, pihak pengelola tanah, hingga Pemerintah Provinsi Gorontalo.
Ini terbukti dalam sidang pembuktian dimana dokumen yang dipakai Pemda Provinsi untuk transaksi pembebasan lahan hanyalah surat keterangan, bukan sertifikat asli.
“Bukti yang diserahkan Pemprov dalam sidang hanyalah surat keterangan penguasaan fisik. Bukan sertifikat. Sertifikat asli berada ditangan klien kami,” tegas Fahmi.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti kelalaian fatal dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang mengakui belum melakukan floating sebelum penerbitan dokumen pembebasan.
“Dalam sidang pemeriksaan setempat februari lalu BPN juga kan mengakui kalau mereka belum sempat floating. Lalu bagaimana bisa lahan itu dibebaskan dan dibayar?” ujar Fahmi.
“Itu kelalaian yang sangat fatal dan bisa mengindikasikan ada niat terselubung,” tambahnya.
Kelalaian Murni atau Konspirasi?
Kasus ini kini memunculkan pertanyaan publik yang mengusik integritas pengelolaan aset negara: Apakah ini murni kelalaian administratif, atau sebuah skenario sistematis untuk menyingkirkan hak-hak sah ahli waris?
Pihak keluarga ahli waris melalui tim hukum menyatakan akan membawa perkara ini ke jalur yang lebih tinggi bila diperlukan, termasuk upaya hukum pidana jika terbukti ada unsur kesengajaan dan persekongkolan.