
GORONTALO SERU – Rencana Presiden Prabowo untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% pada tahun 2025 memunculkan berbagai tanggapan dari masyarakat, khususnya buruh, pengusaha, dan pengamat ekonomi.
Kenaikan ini dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan daya beli pekerja sambil mempertahankan daya saing dunia usaha. Namun, ada tantangan besar yang harus dihadapi untuk memastikan kebijakan ini berdampak positif secara keseluruhan.
Alasan di Balik Kenaikan UMP Sebesar 6,5%
Kebijakan kenaikan UMP ini berakar dari tuntutan serikat buruh yang meminta peningkatan hingga 10%, sementara pengusaha lebih memilih kenaikan moderat di tengah tekanan ekonomi global. Kompromi 6,5% diambil sebagai langkah tengah yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan buruh tanpa membebani dunia usaha secara berlebihan.
Selain itu, proyeksi inflasi sebesar 3% pada tahun 2024 menjadi dasar perhitungan surplus daya beli sebesar 3,5%. Kenaikan ini diharapkan memberikan tambahan penghasilan riil bagi pekerja, terutama mereka yang masa kerjanya di bawah 12 bulan.
Dampak Kenaikan UMP terhadap Daya Beli Masyarakat
Peningkatan Daya Beli Pekerja
Dengan kenaikan sebesar 6,5%, pekerja di sektor formal, terutama mereka yang berada di level entry-level, akan merasakan peningkatan daya beli. Langkah ini diharapkan mampu meningkatkan konsumsi domestik, yang merupakan salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Baca juga:
(OPINI) Penerapan Aturan Parkir Berbayar di Gorontalo: Strategis, tetapi Perlu Implementasi Terarah
Ancaman dari Kenaikan PPN
Namun, tantangan besar muncul dari rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada awal 2025. Kebijakan ini diperkirakan akan memicu kenaikan harga barang konsumsi sebesar 3 hingga 6%, yang dapat melemahkan daya beli masyarakat, terutama di segmen pekerja kelas menengah ke bawah.
Respon Dunia Usaha terhadap Kenaikan UMP
Kekhawatiran Terhadap Peningkatan Biaya Operasional
Pengusaha mengkhawatirkan kenaikan UMP ini akan meningkatkan biaya operasional mereka, yang pada gilirannya dapat mengurangi profitabilitas, khususnya di sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dan melemahkan iklim investasi.
Solusi yang Perlu Dipertimbangkan
Pemerintah perlu menyediakan insentif bagi pengusaha, seperti keringanan pajak atau subsidi, untuk membantu mereka menyesuaikan diri dengan kenaikan UMP. Selain itu, dukungan bagi UMKM juga menjadi prioritas untuk menjaga keberlanjutan ekonomi nasional.
Strategi Pemerintah untuk Menjaga Stabilitas Ekonomi
Kebijakan Mitigasi untuk Dunia Usaha
Agar kenaikan UMP ini tidak menjadi bumerang, pemerintah perlu mengimplementasikan kebijakan mitigasi yang terarah, seperti:
- Insentif fiskal bagi UMKM.
- Program pelatihan bagi buruh untuk meningkatkan produktivitas.
- Penguatan akses pembiayaan bagi pelaku usaha kecil dan menengah.
Baca juga:
Diduga Cemarkan Nama Baik, Mantan Wakil Walikota Gorontalo Dilaporkan ke Polisi!
Untuk mengurangi dampak negatif dari kenaikan PPN, pemerintah harus memastikan pasokan barang dan jasa tetap stabil, sehingga inflasi dapat ditekan pada level yang wajar.
Jika dikelola dengan baik, kenaikan UMP sebesar 6,5% dapat menjadi motor penggerak bagi perekonomian nasional. Peningkatan daya beli masyarakat akan mendorong konsumsi domestik, yang pada akhirnya memperkuat pertumbuhan ekonomi.
Namun, tantangan utama terletak pada eksekusi kebijakan pendukung. Tanpa dukungan yang memadai, kenaikan UMP ini bisa menjadi beban bagi dunia usaha dan menghambat pencapaian target pertumbuhan ekonomi.
Rencana kenaikan UMP sebesar 6,5% pada tahun 2025 adalah langkah yang ambisius dan penuh tantangan. Meskipun kebijakan ini membawa harapan bagi peningkatan kesejahteraan buruh, keberhasilannya sangat tergantung pada strategi pendukung yang mampu menyeimbangkan kebutuhan semua pihak, baik pekerja maupun pengusaha.