
Zen Seru! Di tengah panasnya pembahasan anggaran APBD-P 2025, satu langkah berani justru datang dari Sekretaris Komisi IV DPRD Provinsi Gorontalo, Ghalib Lahidjun.
Bukannya ngotot minta jatah lebih besar, politisi ini malah memilih mengembalikan dana Pokir miliknya senilai Rp200 juta ke Pemerintah Provinsi Gorontalo!
“Informasi yang saya dapatkan, masing-masing anggota akan mendapatkan dana pokir Rp.200 juta. Milik saya, akan saya kembalikan kepada Pemerintah,” ungkap Ghalib, dikutip dari laman dprd.gorontaloprov.go.id
Momen ini diungkapkannya usai rapat Komisi 4 bersama mitra OPD yang lagi bahas Anggaran KUA-PPAS Perubahan Tahun 2025, Selasa (5/8/2025).
“Saya nggak mau Pokir dijadikan alat sandera. Ini bisa bahaya. Pemerintah nanti malah repot bongkar-bongkar anggaran cuma buat ngikutin ego politik legislator,” ungkap Ghalib, tegas.
Pokir Itu Hak, Tapi Jangan Jadi Alat Sandera Politik
Ghalib sepakat, setiap anggota dewan memang berhak punya Pokir, karena itu mewakili aspirasi rakyat di dapil masing-masing.
Tapi ia tegas menolak praktik Pokir untuk barter politik. Menurutnya, kalau terus-terusan begitu, ujung-ujungnya yang jadi korban masyarakat juga.
”Paripurna aja sempat ketunda gara-gara debat soal Pokir. Padahal banyak yang harus dibahas lebih penting, kayak sektor pendidikan, kesehatan, sosial,” ujar Ghalib
“DPRD itu tugasnya mengawasi, budgeting, dan legislasi, bukan berebut anggaran buat kepentingan ego politik,”
Kembalikan Dana Pokir Rp200 Juta
Langkah Ghalib ini murni keputusan pribadi, bukan arahan dari partai atau figur politik lainnya.
Dana Pokir Rp200 juta itu adalah haknya dalam APBD Perubahan 2025, tapi ia memilih undur diri agar pemerintah bisa mengalihkan dana tersebut ke sektor yang lebih mendesak.
“Kalau saya balikin ke pemerintah, ya ujung-ujungnya buat rakyat juga. Nggak perlu egois lah, seolah-olah cuma DPRD yang paling ngerti kebutuhan masyarakat,” katanya.
Berani Beda Demi Stabilitas Pemerintahan
Langkah ini mungkin terdengar nekat, bahkan di kalangan politisi sendiri. Tapi di sisi lain, keputusan Ghalib juga jadi semacam “wake-up call” buat sesama anggota dewan.
Alih-alih sibuk rebutan jatah, Ghalib Lahidjun justru ngajak semua pihak buat fokus ke sinergi antara legislatif dan eksekutif.
Karena kalau dua kekuatan ini malah saling jegal, yang rugi jelas bukan mereka, tapi masyarakat.
Dan mungkin, cuma mungkin, langkah Ghalib ini bisa jadi titik awal perbaikan kultur politik di daerah.
Bukan soal siapa paling vokal, tapi siapa yang paling siap nurunin ego demi rakyat.