
GORONTALO SERU – Kekerasan terhadap jurnalis kontributor media Rajawali Televisi Indonesia (RTV) di Gorontalo, yang diduga dilakukan oleh Kombes Pol Tedy E.P. Sinambela, telah memicu keprihatinan di kalangan masyarakat dan pegiat kebebasan pers. Tindakan ini mencederai prinsip demokrasi dan hak asasi manusia, serta menodai nilai-nilai dasar yang seharusnya dijunjung tinggi oleh institusi Polri.
Peristiwa yang terjadi beberapa hari lalu ini melukai jurnalis korban dan mengancam kebebasan pers, salah satu pilar utama demokrasi di Indonesia.
Dalam konteks ini, imbauan Polri kepada masyarakat untuk tidak bertindak main hakim sendiri dan mempercayakan penegakan hukum kepada aparat yang berwenang terasa sangat kontradiktif.
BACA JUGA:
Proyek Pembangunan Puskesmas Mananggu Bermasalah, Negara Berpotensi Rugi Ratusan Juta
“Ketika seorang perwira menengah terlibat dalam aksi represif, hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara imbauan moral institusi dan tindakan individu anggotanya,” ujar Ketua DPD PJS Provinsi Gorontalo, Jojo Rumampuk (27/12/24).
“Jika dugaan ini terbukti benar, maka ini menjadi indikasi bahwa jabatan dapat disalahgunakan untuk bertindak sewenang-wenang, alih-alih menjadi teladan yang menjunjung tinggi supremasi hukum,” tambahnya.
Jurnalis memiliki peran vital dalam mengawal transparansi, akuntabilitas, dan keadilan di masyarakat. Ketika seorang anggota Polri, terutama perwira menengah, melakukan kekerasan terhadap jurnalis, hal ini menciptakan preseden buruk, seolah-olah hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, sementara pejabat bisa bertindak sesuka hati.

Kasus ini harus menjadi ujian bagi Polri, khususnya di Polda Gorontalo, untuk menunjukkan komitmennya terhadap keadilan dan profesionalitas. Proses hukum yang transparan dan adil terhadap Kombes Pol Tedy harus dilakukan untuk memastikan bahwa hukum tidak pandang bulu.
“Pernyataan normatif saja tidak cukup; tindakan nyata diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan Masyarakat,” tegas Jojo.
BACA JUGA:
Komisi I DPRD Gorontalo Pantau Kamtibmas di Perbatasan Jelang Tahun Baru
Lebih jauh lagi, Polri perlu melakukan evaluasi internal agar kejadian serupa tidak terulang. Penegakan disiplin, pelatihan tentang kebebasan pers, serta penguatan etika profesi menjadi hal yang mendesak. Perwira Polri seharusnya menjadi figur publik yang diharapkan menjadi panutan, bukan justru menciptakan ketakutan di masyarakat.
Peristiwa ini juga mengingatkan kita semua, masyarakat Gorontalo dan Indonesia, bahwa kebebasan pers harus dijaga bersama. Jika jurnalis dibiarkan menjadi korban intimidasi, maka akses masyarakat terhadap informasi yang jujur dan berimbang pun akan terancam. Masyarakat harus berani bersuara dan mendesak keadilan.
“Tidak ada yang kebal hukum di negara ini, termasuk aparat penegak hukum sekalipun,” tegas Jojo.
“Kami berharap tindakan Kombes Pol Tedy, jika terbukti, harus dihukum seadil-adilnya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri dan menjaga martabat hukum di Indonesia,” tutupnya.