
Zen Seru! Persoalan sengketa lahan yang melibatkan ahli waris Yuliyanti Pakaya dan Pemerintah Provinsi Gorontalo yang belakangan menjadi perhatian publik, mulai menemukan titik terang. Lahan seluas 1.2 hektar milik Mintje Ismail Pakaya, istri pertama mendiang Ahmad Hoesa Pakaya, diduga dijual secara sepihak oleh istri kedua, berinisial SP alias Mami, tanpa izin dari ahli waris.
Fakta baru ini terungkap dalam sidang lanjutan sengketa lahan Bandara Djalaluddin Gorontalo, yang digelar di pengadilan Negeri Limboto, Senin (17/03/25) kemarin.
Penjualan ini dilakukan tanpa sepengetahuan ahli waris sah, yang kini tengah menggugat pihak terkait atas pemanfaatan lahan tanpa izin serta tanpa adanya kompensasi ganti rugi.
Awal Mula Sengketa Lahan Bandara Djalaluddin Gorontalo
Pada awalnya, lahan 1.2 hektar tersebut terdaftar atas nama Mintje Ismail Pakaya, istri pertama mantan Bupati Gorontalo, alm. Ahmad Hoesa Pakaya, berdasarkan akta jual beli tahun 1975 yang kemudian disertifikatkan pada tahun 1979.
Namun, dalam proses perluasan Bandara Djalaluddin untuk mendukung target embarkasi haji penuh di Gorontalo sejak beberapa tahun lalu, pemerintah daerah tanpa sepengetahuan ahli waris, telah memagari dan membuat sertifikat baru yang diterbitkan pada tahun 2013.
Belakangan, pada pertengahan tahun 2024, Yuliyanti Pakaya, selaku ahli waris, baru mengetahui dan mendapati bahwa lahan milik ibunya digunakan tanpa persetujuan dan tanpa adanya ganti rugi oleh pemeritah. Oleh sebab itu ia melayangkan gugatan terhadap pemerintah Provinsi Gorontalo diakhir tahun 2024.
Terungkapnya Penjualan Lahan Oleh Istri Kedua Tanpa Izin Ahli Waris
Sidang demi sidang dilalui Yuliyanti Pakaya, hingga di tanggal 17 maret 2025 kemarin, pihaknya menemukan Fakta yang mengejutkan, di mana terungkap bahwa istri kedua mendiang Ahmad Hoesa Pakaya, berinisial SP alias Mami, yang telah menjual lahan tersebut kepada Pemerintah Provinsi Gorontalo dengan harga yang sangat rendah, yaitu Rp 800.000.000,-.
Ini terungkap dari kesaksian AP alias Ato, yang merupakan adik tiri dari SP, yang menguatkan dugaan ini. AP mengungkapkan bahwa ia diberi kuasa oleh SP untuk melakukan transaksi penjualan lahan kepada pemerintah.

Tindakan ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan ahli waris serta masyarakat Gorontalo. Bagaimana mungkin seseorang yang bukan pemilik sah bisa menjual lahan yang secara legal terdaftar atas nama orang lain?
Apalagi, lahan tersebut bukan atas nama suaminya, Ahmad Hoesa Pakaya, melainkan atas nama istri pertama, Mintje Ismail Pakaya.
Melihat fakta yang ada, muncul indikasi kuat terjadinya tindakan kriminal, terutama dalam bentuk penggelapan aset dan pemalsuan dokumen. Hal ini dapat menyeret kasus ini tidak hanya dalam ranah perdata, tetapi juga berpotensi masuk dalam kasus pidana.
Langkah Hukum Selanjutnya
Berdasarkan fakta baru tersebut, Yulianti Pakaya, melalui kuasa hukumnya, Fahmi Al-Idrus, menegaskan, pihaknya akan mengambil langkah pidana dan akan melaporkan pihak-pihak yang terlibat, yang menyebabkan klien-nya mengalami kerugian.
“Dilihat dari bukti-bukti persidangan kasus ini tidak berhenti pada sengketa perdata saja. Kami akan menindak-lanjutinya ke ranah pidana terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi ilegal ini,” tegas Fahmi Al-Idrus.
“Diantaranya terkait pemalsuan dokumen, penggelapan hak atas tanah, penyerobotan dan penyalahgunaan wewenang pejabat negara,” lanjut Fahmi.