Zen Seru! Sidak “solo player” Ketua Komisi II, Mikson Yapanto, ke lokasi tambang di Bone Bolango belakangan menjadi diskusi panas di warung-warung kopi.
Alih-alih mendapat apresiasi, aksi MY justru memicu pertanyaan publik:
Apakah itu tugas pengawasan atau aksi teatrikal berkepentingan?
Sebelumnya, diketahui Ketua Komisi II DPRD Provinsi Gorontalo, Mikson Yapanto melakukan inspeksi mendadak sendirian ke area tambang di Bone Bolango.
Namun aksi “sang ketua” ini tak ragu disebut publik sebagai tindakan mal-adminitrasi.
Pulik mengacu pada peraturan terbaru Badan Kehormatan DPRD Provinsi Gorontalo, yang mengatur bahwa setiap kegiatan pengawasan lapangan, termasuk sidak, wajib melalui rapat internal dan disetujui minimal setengah anggota komisi atau pansus.
Dan pada fakta dan realita, dalam sidaknya, Ketua Komisi II berjalan sendiri, tanpa rapat, tanpa mandat, tanpa kehadiran anggota lain, dan tanpa persetujuan lembaga.
“Saya telpon Ketua DPRD Provinsi, Thomas Mopili, dan dia mengakui kalau sidak itu dilakukan ketua komisi II secara ilegal,” ungkap Tokoh Masyarakat Bone Bolango, Kris Wartabone dalam wawancara (01/12/25).
“Pernyataan pak ketua itu juga didengar oleh beberapa jurnalis pada saat saya menelpon itu,” sambung mantan Wakil Ketua DPRD itu.
Lihat Video Wawancara (KLIK DISINI)
Tindakan Ketua Komisi II ini jelas tidak lagi dapat disebut pengawasan resmi. Sidak ini ilegal dalam konteks hukum dan etik legislatif. Apalagi masa kerja Pansus Pertambangan sudah berakhir.
“Bukannya tunduk pada batas waktu itu, justru ada kesan kuat bahwa ia masih ingin menggerakkan agenda personal di luar rel kelembagaan,” tulis Jojo Rumampuk, dalam web berita faktanews.com.
“Ketika ketua komisi bertindak tanpa legitimasi formal, ia bukan hanya melangkahi prosedur, tapi juga merusak kepercayaan politik internal,” sambung Jojo.
Bahkan informasi yang beredar menyebutkan bahwa sejumlah anggota Komisi II keberatan keras atas aksi “sang ketua“.
Mereka merasa nama komisi dicatut demi agenda pribadi yang bahkan tidak pernah dirapatkan. Jika benar, ini jelas pelanggaran fatal.
Situasi semakin diperparah dengan munculnya pola “korbanisasi” alias victim playing.
“Dia yang menciptakan masalah, dia pula yang memposisikan dirinya sebagai korban untuk memutar persepsi publik” ***
Kini “sang ketua” tengah sibuk membungkus dirinya sebagai pihak yang dizalimi.
Bahkan, ia juga telah melaporkan sejumlah aktivis ke pihak kepolisian, usai terjadi ketegangan antara dirinya dengan warga penambang yang sempat mendatangi kantor DPW NasDem Gorontalo beberapa waktu lalu.
5 orang telah ditetapkan sebagai tersangka





